Khalil Ghibran mengatakan, “Anak
kita bukan milik kita. Dia akan hidup di satu zaman yang berbeda dengan zaman
kita.” Anak kita ibarat anak panah yang dilepas dari busurnya. Ia melesat ke
arah yang tidak diketahui oleh si busur.
Gambaran ini relevan dengan segala
zaman. Anak kita bukan milik kita, dia akan (mungkin sudah) lepas dari kita.
Dia berpisah dengan orang tuanya. Tak tahu kelak jadi apa, hidup, dan mati
dimana.
Anak kita bukan milik kita. Ia
“dipinjami “ Allah. Jika sewaktu-waktu
diminta kembali, kita harus rela, tidak boleh menggenggamnya. Kita harus
ikhlas. Allah lebih berhak memiliknya karena Dia pemilik anak kita.
Kewajiban orang tua bukan mendekap
anak kuat-kuat sebab bagaimanapun kerasnya dekapan itu , pada
akhirnya melesat
juga. Setidaknya pindah ke “busur” yang lain, misalnya ikut istri atau dibawa
suami yang dicintai.
Tugas orangtua hanya membekali
mereka dengan bekal yang baik agar elok dipandang. Anak seperti itu kalau melesat dari busurnya, melesat ke arah
lurus dan tepat sasaran. Orang tua senang.
Kita berhak mencintainya, tetapi
cinta yang baik bukan berarti dibiarkan berbuat salah, khilaf dan maksiat. Kita
boleh menimangnya tetapi kelak lepas juga. Anak perlu diasah agar bisa tajam
pikirannya, tajam hatinya dan baik perilakunya.
Al Quran melukiskan, anak yang baik
seperti intan yang menyenangkan dipandang. Perilakunya memantulkan kilau sinar
yang menawan, magnit pribadinya kuat, bicaranya santun dan lembut.
Kita tidak boleh apriori terhadap
perkembangan anak, membiarkan apalagi menelantarkannya, orang bijak menganggap anak
adalah hasil jerih payahnya. Kalau kita dititipi anak lantas kembali kepada-Nya
dalam keadaan jelek, kelak kita ditanya mengapa bisa begitu, dan dimintai
pertanggungjawaban.
Maka, doa yang senantiasa
dilantunkan orang tua, “ Ya Allah jadikan anak-anak dan istri kami enak
dipandang, dan jadikan mereka pemimpin bagi orang bertaqwa.
Kedudukan anak bermacam-macam. Ada
yang menjadi hiburan bagi orang tuanya. Anak yang demikian selalu memiliki kisah
sukses sehingga orang tuanya merasa senang melihat dan mendengar cerita
anaknya. Ia berbakti penuh ketulusan, tidak ada kata –kata kasar apalagi
perilaku menyakitkan orang tua. Sebagai orang yang melahirkan dan memeliharanya
sejak kecil, orang tuanya benar-benar terhibur oleh anaknya sehingga kalau
tidak bertemu beberapa waktu saja merasa ada kerinduan mendalam. Anda masuk
kategori ini?
Ada juga sebagai cobaan bagi orang
tuanya. Ia hadir menjadi “ganjalan” bagi orang tuanya. Pikirannya, ucapan, dan
perilakunya terasa tidak menyenangkan bagi orang tuanya. Biasanya anak seperti
ini membuat orang tuanya tidak bahagia. Penulis sering menjumpai anak seperti
ini. Ia selalu menuntut haknya, sementara kewajibannya sebagai anak yang harus
berbakti kepada orang tua tidak dijalaninya.
Ada juga anak sebagai fitnah. Ini
kebalikan dari pertama. Sepanjang waktu selalu menggoda orang tuanya sehingga
derai tangis selalu mewarnai kehidupan orang tuanya. Anak seperti ini hidupnya
tidak akan barokah. Apa yang diraih sifatnya semu. Bisa jadi, kelak dalam
perjalanan hidupnya akan jatuh ke jurang kehancuran yang mendalam. Begitu juga
di akhirat kelak akan termasuk orang yang menyesal sedalam-dalamnya.
Sebagai orang tua, perlu terus
mengawal perjalanan anak-anaknya dengan doa agar senantiasa menjadi anak yang
menyenangkan bagi hati orang tuanya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar