Guru... adalah
profesi yang mulia. Ada yang berpandangan bahwa “orang tua” itu ada tiga. Pertama, orang yang melahirkan kita. Yaitu bapak dan
ibukita. Ini posisi sentral yang tak terbantahkan dan tak terkalahkan. Agama
menjarkan kepada kita agar menaruh hormat, tunduk dan taat kepada mereka.
(sumber gambar: cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto) |
Nabi Saw
menegaskan, “Ridho Allah terletak pada ridhonya orang tua, dan marah Allah
tergantung pada marahnya orang tua.”
Berhati-hatilah kepada orang tua. Kita hendaknya memiliki akhlak yang baik
kepada mereka.
Kedua, orang tua kita adalah mertua yang mempercayakan anaknya kepada kita,
yaitu mertua. Maka, seseorang yang menikahi atau dinikai bukan hanya mencintai
pasangan hidupnya tetapi juga harus mencintai mertuanya. Tidak layak jika
seseorang mencintai anaknya yang
“diamanahkan” kepada kita sementara kepada mertuanya tidak mencintainya.
Ketiga, orang tua kita adalah guru yang mengamalkan ilmunya kepada kita.
Setiap hari guru datang ke sekolah dengan hati ikhlas, pengabdian penuh
semangat untuk menggelontorkan rasa cintanya
kepada muridnya. Berkat jerih payahnya siswa yang asalnya tidak bisa
menjadi bisa, siswa yang tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi
mengerti.
Dunia ini berubah
menjadi luar biasa karena jasa guru. Gurulah yang membangun peradaban manusia
sehingga meninggalkan kehidupan primitif
menjadi kehidupan modern.Gurulah yang mengukir sejarah kehidupan manusia. Dari tangan guru
diberantas tiga kemiskinan sekaligus: miskin iman, ilmu, dan miskin amal.
Kelebihan jiwa guru
adaah, memiliki sikap peduli kepada murid. Mereka bukan hanya berusaha mendidik
dengan baik. Di balik itu ada kebiasaan mulia: menyelipkan dalam doanya sukses
bagi muridnya. Malah ada guru yang menyebut satu demi satu nama muridnya dalam
doanya agar doanya fokus. Mendidik, mengajar, dan mengantar sukses anak didik
dengan doa adalah bagian yang tak terpisahkan.
Imam Al Ghazali melukiskan guru sebagai “orang besar” di semua kerajaan
langit. Renungkan kata-kata “orang
besar” itu. Berarti guru adalah orang penting di kerajaan langit. Tugasnya
memberi pencerahan kepada murid.
Kita tidak boleh memandang enteng apalagi dengan sebelah mata. Sebab,
lanjut Imam Al Gozali guru seperti matahari yang mampu menerangi dan memberikan
kehidupan bagi umat manusia. Dengan ilmu, guru mengarahkan manusia mampu
membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk
sehingga mereka meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan di akhirat.
Guru membuka hati seseorang untuk menghilangkan kemiskinan, baik miskin
ilmu, miskin iman dan miskin amal. Dengan kata lain, guru membangun kecerdasan
manusia, baik intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan kecerdasan lain
seperti kecerdasan berbahasa (linguistik), kecerdasan performence, dll.
Bahkan guru laksana minyak wangi. Setiap manusia pasti menyenanginya. Guru
itu wangi dengan ilmunya dan menyebarkan wewangian kepada lingkungan
sekitarnya. Ia menjadi aroma terapi bagi masyarakat yang haus dengan ilmu
pengetahuan dan nasehat yang berharga.
Ali bin Abi Tholib karamalallhu
wajhahu mengatakan orang yang pernah menjari ilmu walau satu huruf adalah
guru kita. Jika begini pemahamannya, begitu banyak guru di tengah
kehidupan. Kembali kepada kita, apakah
mau mengakui orang yang pernah ngajari ilmu walau sedikit sebagai guru atau
tidak. Yang jelas, ada guru formal atau non formal.
Rasulullah menyebut dirinya sebagai guru. Beliau mengajari umat Islam untuk
terbebas dari gelapnya kebodohan menuju terangnya cahaya kecerdasan. Sedemikian
tingginya keutamaan seorang guru sampai beliau bersabda “Barang siapa yang
mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkan kepada manusia, maka ia telah mendapat
pahala tujuh puluh orang shiddiq (orang yang benar dan membenarkan beliau
seperti Abu Bakar As-Siddiq)”.
Dalam hadits lain Rasulullah juga memperlihatkan
kecintaannya kepada orang yang mengajarkan ilmu. Diriwayatkan, Rasulullah Saw
keluar rumah menyaksikan dua pertemuan. Pertemuan pertama orang-orang sedang
berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah. Dan di pertemuan kedua orang sedang
mengajarkan ilmu. Rasulullah memilih duduk pada pertemuan yang kedua. Ini
menunjukkan betapa tingginya keutamaan seorang guru di mata Rasulullah sehingga
sepatutnya kita pun mengikuti jejak beliau. (*)
0 komentar:
Posting Komentar