Allah
adalah Zat Maha Pemberi. Nikmat yang diguyurkan kepada hambaNya tidak
terhitung. Waintaudu nikmatallahi latuhsuha (jika engkau akan menghitung nikmat
Allah mustahil bisa menghitungnya karena terlalu banyak).
Sebagai “Rab”, Allahlah yang merancang
sekaligus menciptakan kita, yang memelihara, dan mencukupi (memberi
rezeki). Dan Allah pula yang meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatan
kita.
Sifat
“Maha Pemberi” tersebut seyogyanya kita
tiru. Nabi Saw
menegaskan, “Takhallaqu bi akhlaqillah”.
Berakhlaklah seperti akhlaknya Allah. Dalam praktek,--kalau ingin meniru sifat
Allah tersebut-- jadilah sebagai pribadi
pemberi. Orang demikian diistimewakan oleh Allah. Yaitu masuk golongan orang
beriman dan bertaqwa kepada Allah (QS Al
Baqarah 3).
Dalam
hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah Muhammad Saw yang menjelaskan perbedaan
antara dermawan dengan orang kikir.
Menurut Nabi, “Ada malaikat yang di waktu pagi dan sore berdoa,” Ya
Allah berilah orang yang berinfak itu ganti. Dan di bagian lain malaikat
berdoa,” Ya Allah jadikan orang yang menahan infak kehancuran.”
Orang
yang gemar berinfaq diberi ganti jauh lebih besar. Semakin banyak yang diberikan kepada orang
lain, akan Allah ganti dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Sebaliknya, orang
yang kikir, cepat atau lambat diberi kehancuran, disulitkan rezekinya.
Rasulullah
Saw bersabda:
”Sesungguhnya Allah Swt
berfirman,” Wahai anak Adam! Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku
penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku cukupi kebutuhanmu. Jika tidak, niscaya
Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu, HR Imam
Ahmad, Art-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim.
Dari
hadits ini, dapat kita ketahui bahwa Allah memberi kecukupan bagi hamba yang
suka mengisi waktu dengan
kebiasaan suka memberi
kepada sesama. Dan bagi mereka yang pelit ditambah “kesibukan” sehingga hidupnya tidak pernah
merasa cukup. Anehnya banyak orang yang selalu sibuk mengisi waktu dengan urusan
duniawiyah sehingga untuk kepentingan Allah mereka mengaku tidak punya waktu.
Sampai
kapan kita akan “menjauh” dari Allah? Dan apakah kita tidak malu, mendekat
kepada Allah kalau sedang butuh saja? (*)
0 komentar:
Posting Komentar