 |
POlisi lalu lintas yang berjiwa malaikat (hardono.melesat.com) |
Coba lihat, orang
yang berjiwa malaikat. Yaitu orang yang baik hati, suka berbuat baik, tidak
suka mengganggu orang lain, dst. Dia pasti disenangi orang. Performencenya
memikat hati. Mereka gampang mendapat simpati. kehadirannya selalu dirindukan.
Hadirnya menjadi pemberi solusi, tidak menjadi beban bagi orang lain, serta suka
kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas.
Semua orang
menerima kehadirannya dengan baik meski beda agama, suku, organisasi, partai, bangsa,
dan strata sosial, dll. Dia menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, dan
menggetarkan jiwa.
Mereka adalah manusia
terpilih. Keberadaannya tersebar di mana-mana. Mungkin sebagai pekerja sosial,
agamawan, guru, polisi, wartawan, politisi, TNI, tenaga medis, pemulung, dsb.
Meski berbeda latar belakang punya kesamaan kemauan: menebar kebaikan di tengah
kehidupan.
Berkarya tanpa
mengenal lelah. Keringatnya berguna bagi orang lain. Impiannya jauh ke depan.
Kata-katanya mendalam, wawasannya luas, mengena pada sasaran dan gerak-geriknya
banyak ditiru orang.
Diamnya mengandung
tanya. Sikapnya selalu ditafsiri secara positif. Ucapannya dicatat dalam
lembaran hati pendengarnya. Senyumnya punya seribu makna, tertawanya mendorong
orang lain ikut bahagia. Telunjuknya bukan untuk memerintah sebab tanpa disuruh
orang lain sudah melakukannya.
Kapan pun, di mana
pun dan dalam situasi dan keadaan bagaimanapun selalu menebar kebaikan. Siang
berkeringat banting tulang, malam sibuk mendekat kepada Allah. Lisannya sibuk
zikir, lisannya sibuk komat-kamit mendoakan orang lain. Hatinya memantulkan
harapan bagi orang yang bersedih. Jauh dari pandangan sinis. Pendengarannya
cerdas sehingga bisa membedakan mana kalimat yang baik dan berkwalitas dan mana
kalimat tak berkwalitas dan “sampah”.
Manusia hebat
seperti ini, kadang ada di masjid, di gubuk kecil, di penjara, di kolong
jembatan, atau tempat lain. Mungkin saja dia berada di kompleks pelacuran namun
selalu sibuk memberi nasehat agar para WTS segera keluar dan meninggalkan
profesinya. Mereka selalu menambah kebaikan. Tak peduli orang lain mengecamnya.
Biar anjing menggonggong kafilah tetap berlalu…
Dia tidak terjebak
pada pujian, karena tahu pujian itu sifatnya semu dan tak lebih dari sekadar
“lipstik” belaka. Dihindari debat dengan orang lain, hanya buang-buang energi.
Dibersihkan hatinya dari “penyakit” sombong agar terhindar dari perasaan bahwa hanya
dirinya orang hebat. Sikap yang benar adalah muncul pengakuan bahwa dirinya
belum apa-apa dan bukan siapa-siapa. Semakin diuji semakin dekat denganNya. Semakin
banyak dipuji semakin merunduk.
Melihat orang lain
yang menderita, muncul rasa iba di hatinya, sebagaimana dia melihat dirinya
sendiri. Kalau ada orang tersesat berupaya menyelamatkannya. Kata-katanya
tersaring ketat sehingga ucapannya tidak vulgar dan menyakitkan.
Semua kata dikemas
dengan baik. Misalnya kalau melihat ada orang “gila”, dia tidak menyebut sebagai
orang gila, melainkan orang yang “tidak berdosa”. Kalau ada WTS seliweran dia tidak membencinya,
melainkan ingat kisah WTS yang masuk sorga gara-gara hatinya mulia, turun ke
sumur mengambil air untuk diberikan kepada seekor anjing yang sedang kehausan
air sehingga tidak jadi mati.
Pertanyaan kita
adalah: bagaimana dengan diri kita? Apakah hati ini penuh ambisi duniawiyah,
atau dikuasai bisikan malaikat yang mendorong kita selalu menebar kebaikan?
Adakah secercah
harapan untuk
mengubah hidup sehingga menjadi orang yang dirindukan dan disenangi orang lain.
Semoga, bertambahnya umur bertambah semangat baru dalam menggelorakan bisikan
malaikat dalam setiap jiwa.
*) Dikutip dari buku kaya penulis berjudul: Manusia Berjiwa Malaikat